Rabu, 16 Maret 2016

MALAM yang gerah terasa kian panas di gedung Bentara Budaya Yogyakarta. Sekat-sekat yang membujur-melintang di jelujur ruang menjadikan ratusan orang yang hadir begitu berjejal. Selasa malam 6 April 2010, duo kartunis paling populer dewasa ini di republik yang semrawut ini, Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad, menghelat pameran kartun. Memang, duet kartun karya mereka telah begitu ikonik di jagad kartun Indonesia sekarang, yakni Benny & Mice.

Yogyakarta menjadi kota ketiga dari pameran keliling mereka sebelum menuju ke Surabaya dan Denpasar, Bali. Sebelum mampir ke Kota Gudheg ini hingga 17 April, rangkaian pameran ini berawal di “markas besarnya” di Bentara Budaya Jakarta, dan lalu ke gedung Sudjatmoko, Solo. Menurut Direktur Bentara Budaya, Efix Mulyadi, inilah pameran besar yang pernah dilakukan oleh duet Benny & Mice. Dan seperti diduga, pengunjungpun begitu membludak di tiap perhelatan. Setidaknya seperti yang terlihat di Yogyakarta.

Pengunjung yang berkerumun di Bentara Budaya Yogyakarta di kesempatan ini terasa beragam. Tak seperti halnya pameran-pameran seni rupa yang acap digelar, kali ini gedung yang berada di Jalan Suroto 2, Kotabaru, Yogyakarta banyak dikunjungi oleh kalangan di luar “komunitas seni rupa”. Mereka yang telah karib dengan harian Kompas yang menjadi rumah induk dan membesarkan tokoh Benny & Mice banyak berhamburan datang. Tampaknya, inilah massa “real” Benny & Mice yang selama ini tersedot perhatiannya tatkala membaca menyimak polah-tingkah mereka di edisi hari Minggu di harian bertiras paling besar di Indonesia.

Titik menarik dari sosok Benny & Mice adalah kemampuan mereka untuk menertawakan diri sendiri. Mungkin ini juga bagian dari “ideologi” yang melekat dari para “dalang”-nya yang mengkreasi di balik kemunculan sang Benny & Mice. Publik—khususnya penyimak setia Benny & Mice—tentu telah mafhum atas hal yang menguat hingga menjadi ciri kartun ini, yakni sebagai representasi masyarakat urban (Jakarta) yang sering kali mengalami kejutan budaya (shock culture) ketika mendapatkan pengalaman atau sesuatu yang baru. Dalam budaya Jawa ada terminologi “aja gumunan, aja kagetan” yang dulu sering diungkapkan oleh Presiden Soeharto. Ungkapan ini seperti pengingat bahwa tidak sedikit masyarakat kita yang telah mengalami gegar budaya di tengah kerumun persoalan diri dan lingkungannya. Benny & Mice menjadi kasus kecil, dan mungkin menjadi cermin (kita) bersama: tiba-tiba menjadi shopaholic (gila belanja) atas sebuah barang dengan brand yang mendunia. Mereka kemudian dengan serta-merta membeli dengan mengatasnamakan keinginan (want), dan bukan karena bermuasal dari kebutuhan (need) mereka.

Kejutan budaya atau gegar budaya yang dialami oleh Benny & Mice terus-menerus di(re)produski mereka di Kompas tiap pekan. Dan selalu dengan kekonyolan yang mendekonstruksi logika, melebih-lebihkan (exaggeration) kenyataan, serta terkadang secara tidak langsung nyinyir dengan sebuah gejala baru yang terjadi dalam masyarakat. Dan di sinilah titik keistimewaan Benny & Mice: menjadikan wajah diri sebagai wajah sosial yang kompleks.

Pameran ini sesungguhnya “sekadar” menampilkan penampang dari keseluruhan wajah Benny & Mice yang telah ditampilkan sebelumnya di berbagai media: Kompas (edisi Minggu), buku-buku serial Benny & Mice yang telah diterbitkan secara berlimpah oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), dan media lain yang kebetulan masih di bawah satu atap, yakni grup Kompas Gramedia. Bagi penerbit KPG sendiri, sosok Benny & Mice telah menjadi salah satu tambang uang penting bagi mereka. Nyaris semua serial buku komik garapan Benny Rachmadi dan Muhammad Misrad ini direspons dengan sangat bagus di pasar hingga berkali-kali mengalami cetak ulang. Fakta ini tentu sebuah fenomena dalam jagad kartun atau komik di Indonesia yang selama ini diasumsikan banyak tenggelam di belantara komik impor, khususnya manga Jepang yang kebanyakan (yang masuk di Indonesia) stereotipe (dan kebetulan juga dipopulerkan oleh penerbt Gramedia sendiri).

Maka, menyimak pameran ini akhirnya (lagi-lagi) “sekadar” memberi tips pengingat terhadap publik bahwa ada serentetan gejala sosial yang telah didokumentasikan secara kartunal atau komikal oleh duet kartunis ini. Dan KPG telah menjadi bidan yang baik untuk membantu melahirkan karya-karya tersebut. Kalau kemudian di bagian belakang gedung Bentara Budaya Yogyakarta ada satu meja pendek dengan setumpuk buku-buku tentang komik karya duet kartunis ini, jangan salahkan, karena itulah bagian yang integral dari pameran ini.

Sayang memang bahwa ikon Benny & Mice belum dieksplorasi secara penuh dalam pameran ini. Bahwa penyelenggara mencoba menyusun pameran ini dengan perangkat instalatif lewat upaya mengusung atmosfir tertentu yang telah menjadi kedekatan dari setting Benny & Mice, tentu patut diapresiasi. Namun totalitasnya tereduksi karena nyaris semua hadir secara artifisial, masih terlalu “rapi” dan kurang melekatkan subyek benda yang natural. Belum “Benny & Mice banget”.

Namun, apapun, publik kini bisa menyaksikan pencapaian karya dua kartunis lulusan Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini sebagai “produsen senyum dan gelak tawa” lewat bahasa rupa dengan Kompas Gramedia sebagai medianya. Ini menjadi menarik karena mereka juga besar dan berkibar bahkan tanpa bersentuhan dengan lembaga semacam Pakarti (Paguyuban Kartunis Indonesia). Lho, memang bisa apa Pakarti? ***

sumber : http://indonesiaartnews.or.id/newsdetil.php?id=53

Related Posts by Categories

0 komentar:

Posting Komentar